Dari rasa cemas yang mendalam, barisan penjaga nilai-nilai moralitas dalam berbangsa dan bernegara. Untuk itu ia hadir, pekik lantang, tinju menjulang.
Ini surat cinta untuk para parlemen, kita ketemu di sepanjang jalan penuh serapah bagi penguasa yang sewenang-wenang.
Sekapur sirih
Tapak tilas parlemen jalanan
Bila melihat foto yang saya posting ini, sebagian dari kita tentu sudah tahu bahwa gerakan ini adalah gelombang aksi masa yang ingin menurunkan presiden ke-2 saat itu, hal yang sangat fundamental ialah karena kekuasaan presiden Soeharto di zaman orde baru hampir genap 32 Tahu, sejarah itu di kenal tragedi trisakti 98.
Realita
Kenapa statement pembahasan di orientasikan ke arah Trisakti 98, karena hal ini berbicang tentang pengulungan figur pemimpin dalam hal ini presiden RI.
Opini hangat (Breaking News) dalam beberapa bulan terkahir yang terbangun bahwa pemilu akan diundur (tunda) yang paling mendasar Karen faktor perekonomian yang belum stabil pasca covid-19. Hal ini di utarakan beberapa figur didalam tubuh kabinet Jokowi, politisi koalisi, dan ormas yang menyuarakan perlunya dilakukan penundaan. Namun pernyataan tersebut tidak di indahkan oleh orang nomor satu Presiden Jokowi. Tak ayal berita yang beredar membuat pengamat politik, masyarakat, dan mahasiswa geram. Bersamaan dengan hal tersebut muncul wacana masa jabatan presiden yang akan di perpanjang menjadi 3 periode, aktivitas narasi tersebut tentunya menjorok pada kekuasaan dan akan mencederai konsitusi Negara.
Bila merujuk dari kacamata objektifitas, mungkinkah penundaan ini akan terjadi ?
atau mungkinkan penambahan masa jabatan ini akan terealisasi ?
Saya pikir mungkin saja, apabila melewati Pase panjang yang melibatkan rakyat dalam hal ini keterwakilan (Majelis Permusyawaratan Rakyat), kita tidak usah bicarakan dulu menurunnya elektabilitas terhadap perwakilan ini, hanya saja kewenangan tersebut ada ditangan mereka.
Secara sederhana, garis atau runtutan perubahan suatu UU bisa terjadi apabila melibatkan lembaga eksekutif sebagai pengusul, legislatif sebagai perancang, singkat cerita apabila pengusulan diterima dan produk hukum baru terbit (amandemen) maka disahkan oleh MPR, pasca itu lalu bisa di gunakan.
Sekarang kalau dikaji kembali apakah masa kepemimpinan Jokowi bisa ditunda, tentu tidak bisa bila melihat dari UU RI 1945 tentang masa jabatan Presiden tepatnya di pasal 5-7, hal itu sudah menjadi jawaban mutlak, kemungkinan hal itu bisa terjadi apabila pemerintah melakukan pelanggaran, artinya bentuk penghianatan pada reformasi. Sementara apakah masa jabatan Presiden RI bisa ditambah menjadi 3 periode, tentu bisa apa bila UU RI sudah di amandemen, sekarang pertanyaannya apakah hal itu dilakukan ? Jawabannya tidak.
Maka secara mutlak dan sah tidak mungkin ada masa jabatan 3 periode apabila secara regulasi dan konstitusi tidak ada perubahan, kecuali pemerintahan di era presiden Jokowi nekat melakukan hal itu.
Berangkat dari hasil analisa tersebut, dapat diketahui bersama bahwa apa yang pemerintah lakukan sampai detik ini masih dalam ambang batas produk hukum yang berlaku dimana masa jabatan yang diemban presiden sah secara konstitusi, yaitu dipilih 2019 berkahir 2024.
Kembali pada aksi masa Mahasiswa yang melibatkan mobilisasi masa secara jeneral tentang isu penundaan serta perpanjangan jabatan presiden, sebagai mahasiswa dengan tanggung jawab diantaranya agen of change, agen of kontrol, sudah menjadi tugas Mahasiswa menjaga marwa serta spirit perjuangan NKRI, penanaman kesadarane merawat kebijakan yang sudah di bubuhkan pada Pancasila dan UU 45 menjadi keniscayaan.
Lalu membahas perihal objektifitas penundaan serta perpanjangan jabatan, apakah perlu aksi ini dilakukan dalam waktu dekat, tentu perlu pengkajian lebih dalam secara fundamental. apabila sudah terbukti melakukan upaya terhadap wacana yang terbangun di media tentu kita tidak perlu berbicara banyak, semangat serta gairah 98 hadir saat itu juga, atau yang dikenal parlemen jalanan. yang patut diapresiasi dari aksi yang ada ialah mencegah kecolongan terhadap kebijakan yang ada seperti UU MD3, RUU KUHP, atau UU Cipta Kerja.
Sebagai insan akademisi tentu permasalahan ini dapat dikaji dari beberapa sudut pandang, karena sudah jelas persiden jokowi melarang pengiringan isu yang dilakukan pihak istana untuk bicara perihal tersebut, artinya tidak ada niatan yang dalam, sembari melihat sejauh apa perkembangan pilpres di 2024 dan menagih pernyataan sikap yang disampaikan.
Akan tetapi sudah menjadi hukum alam apabila sosok pimpinan akan menjadi sasaran utama dalam unjuk rasa. Sebagai pemangku kebijakan dan memiliki hak progratif untuk mengarahkan dari mana suara-suara yang tidak berpihak itu mencuat, pucuk pimpinan dituntut harus mau berdialog serta menyerap aspirasi dari unjuk rasa sehingga mendapat nota kesepahaman yang sama.
Realistis gerkan diharapkan berfokus Kepada isu sosial secara empiris, dimana salah satunya kelangkaan solar, minyak goreng yang hilang dari peredaran, BBM yang naik dan masih banyak lagi. Relevansinya begitu terasa, realita sosial memang dapat dirasakan secara seksama, terutama masyarakat dengan kelas ekonomi menengah kebawah, namun apapun yang terjadi semua elemen berhak berpendapat dalam jenis tuntutan apapun, sebagai mana negara menganut sistem demokrasi.
Kekhawatiran utama dari kejadian ini apabila gerakan yang dibangun dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok gelap, justru kejadian ini malah memicu terjadinya blunder terkait gerakan yang diangap ditunggangi, mengakibatkan rusaknya citra gerakan parlemen jalanan yang membawa spirit kemasyarakatan serta keadilan, atau dianggap gerakan ini sebagai sarat kepentingan di pemilu 2024, dan parahnya lagi gerakan mahasiswa hanya sebatas gerakan trendy, karen aksi yang di gaungkan tergolang isu Nasional.
Coba kembali merefleksi sumber berita penundaan pemilu serta wacana perpanjangan masa jabatan presiden hingga 3 periode, siapa sebenarnya perangkat penggagas, apakah murni terucap dari sosok yang bersangkutan, atau hanya pengangkatan isu dari golongan atau kelompok terdekat, atau kejadian tersebut permainan dari buzzer sebagai propaganda. tentu harus di cermati dengan baik.
Perlu adanya kajian jangka panjang sembari menunggu reaksi pilpres di tahun 2024, audiensi terbuka di harapkan hadir didalam forum-forum yang dianggap perlu sehingga tidak menimbulkan provokasi, sebagai kaum intelektual tentu tuntutan yang masak dan menghasilkan kesepakatan yang berasas keadilan bagi semua pihak tentu menjadi nilai tawar mutlak.
Parlemen jalanan tidak akan mati, mereka akan mengintai bagi rezim dan elit yang berkhianat. Namun waspada akan kepentingan, atau lebih tepatnya propaganda.
(*yr://)
Komentar
Posting Komentar